PANCASILA DAN AGAMA
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pancasila
merupakan dasar negara, dan pemersatu bangsa Indonesia yang
majemuk.Pancasila juga jati
diri bangsa Indonesia,
sebagai falsafah, ideologi,
dan alat pemersatu bangsa
Indonesia Mengapa begitu
besar pengaruh Pancasila terhadap bangsa dan negara
Indonesia? Hal ini dikarena bangsa
Indonesia memilki keragaman suku, agama,
bahasa daerah, pulau,
adat istiadat, kebiasaan
budaya, serta warna kulit jauh berbeda satu sama lain tetapi hal -hal
atau perbedaan di atas harus dipersatukan.
Sejarah Pancasila
adalah bagian dari
sejarah inti negara
Indonesia. Sehingga tidak heran bagi sebagian rakyat Indonesia,
Pancasila dianggap sebagai sesuatu
yang sakral yang
harus kita hafalkan
dan mematuhi apa
yang diatur di dalamnya.
Ada pula sebagian
pihak yang sudah
hampir tidak mempedulikan
lagi semua aturan-aturan yang
dimiliki oleh Pancasila.
Namun, di lain
pihak muncul orang-orang yang
tidak sepihak atau menolak akan adanya Pancasila sebagai dasar negara
Indonesia. Mungkin kita masih
ingat dengan kasus
kudeta Partai Komunis
Indonesia yang menginginkan mengganti
ideologi Pancasila dengan
ideologi Komunis. Juga kasus
kudeta DI/TII yang
ingin memisahkan diri
dari Indonesia dan
mendirikan sebuah negara Islam.
Atau kasus yang
masih hangat di
telinga kita masalah pemberontakan tentara
GAM.
Mengapa
banyak orang yang menetang pancasila dengan alasan agama. Masalah pokoknya
adalah kurangnya pemahaman mereka tentang ideologi pancasila dan juga kesalahan merekadalam menafsirkan
pelajaran pelajaran atau ilmu agama yang mereka dapatkan.
atau mungkin juga mereka mudah di pengaruhi dan di hasut dengan alasan
agama atau kebebasan.dengandemikian sangat
mudah bagi orang orang yang ingin menghancurkan negri ini memanfaatkan
mereka.
B.
Perumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksud dengan pancasila dan agama?
2. Apa
hubungan pancasila dan agama?
3. Apakah Pancasila
masih bisa menjadi
ideologi yang dianut
oleh bangsa Indonesia yang
terdapat beragam kepercayaan (agama).?
4. Apakah dengan
menjadikan Pancasila sebagai
dasar ideologi negara Indonesia, dapat menuju negara yang
aman dan stabil.
PEMBAHASAN
PANCASILA DAN AGAMA
A.
Pengertian
Pancasila dan Agama
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama
ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla
berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.Pancasila adalah pedoman
luhur yang wajib di ta’ati dan dijalankan oleh setiap warga negara Indonesia
untuk menuju kehidupan yang sejahtera tentram,adil,aman,sentosa.
Agama adalah ajaran
sistem yang mengatur tata keimanan kepada Tuhan Yang Maha kuasa serta tata
kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia an manusia serta lingkungan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
B.
Hubungan Pancasila dan Agama
Pancasila yang
di dalamnya terkandung
dasar filsafat hubungan negara
dan agama merupakan
karya besar bangsa Indonesia melalui The
Founding Fathers Negara Republik
Indonesia. Konsep pemikiran para pendiri negara
yang tertuang dalam
Pancasila merupakan karya khas yang secara antropologis
merupakan local geniusbangsa Indonesia
(Ayathrohaedi dalam Kaelan,
2012). Begitu pentingnya memantapkan
kedudukan Pancasila, maka Pancasila
pun mengisyaratkan bahwa
kesadaran akan adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama.
Tuhan menurut terminologi
Pancasila adalah Tuhan
Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan agama Islam,
Kristen, Budha, Hindu
dan bahkan juga Animisme (Chaidar, 1998: 36).
Menurut Notonegoro (dalam Kaelan, 2012:
47), asal mula Pancasila
secara langsung salah
satunya asal mula bahan (Kausa Materialis) yang menyatakan
bahwa “bangsa Indonesia adalah sebagai
asal dari nilai-nilai
Pacasila, yang digali dari bangsa Indonesia yang berupa nilai-nilai
adat-istiadat kebudayaan serta
nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari
bangsa Indonesia”.Sejak zaman purbakala
hingga pintu gerbang (kemerdekaan) negara
Indonesia, masyarakat Nusantara
telah melewati ribuan tahun pengaruh agama-agama lokal, (sekitar) 14
abad pengaruh Hinduisme
dan Budhisme, (sekitar)
7 abad pengaruh
Islam, dan (sekitar)
4 abad pengaruh Kristen
(Latif, 2011: 57). Dalam
buku Sutasoma karangan Empu
Tantular dijumpai kalimat yang kemudian dikenal Bhinneka Tunggal Ika.
Sebenarnya kalimat tersebut secara lengkap
berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan
Hanna Dharma Mangrua, artinya
walaupun berbeda, satu
jua adanya, sebab tidak
ada agama yang
mempunyai tujuan yang berbeda
(Hartono, 1992: 5).
Kuatnya faham keagamaan
dalam formasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak
dapat membayangkan ruang publik
hampa Tuhan. Sejak
dekade 1920-an, ketika Indonesia
mulai dibayangkan sebagai komunitas politik
bersama, mengatasi komunitas
kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas
dari Ketuhanan (Latif,
2011: 67). Secara
lengkap pentingnya dasar Ketuhanan
ketika dirumuskan oleh founding
fathers negara kita dapat
dibaca pada pidato
Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945,
ketika berbicara mengenai dasar negara (philosophische
grondslag) yang menyatakan, “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia
ber-Tuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan.
Tuhannya sendiri. Yang Kristen
menyembah Tuhan menurut petunjuk
Isa Al Masih,
yang Islam menurut petunjuk
Nabi Muhammad s.a.w,
orang Budha menjalankan ibadatnya
menurut kitabkitab yang
ada padanya. Tetapi
marilah kita semuanya ber-Tuhan.
Hendaknya negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap
orangnya dapat menyembah Tuhannya
dengan leluasa. Segenap rakyat
hendaknya ber-Tuhan.
Secara kebudayaan yakni
dengan tiada “egoisme agama”. Dan
hendaknya Negara Indonesia
satu negara yang ber-Tuhan”
(Zoelva, 2012).Pernyataan ini mengandung dua arti pokok. Pertama pengakuan akan
eksistensi agama-agama di
Indonesia yang, menurut Ir.
Soekarno, “mendapat tempat
yang sebaik-baiknya”. Kedua, posisi
negara terhadap agama,
Ir. Soekarno menegaskan bahwa
“negara kita akan
berTuhan”. Bahkan dalam bagian akhir pidatonya, Ir. Soekarno
mengatakan, “Hatiku akan
berpesta raya, jikalau
saudarasaudara menyetujui bahwa
Indonesia berasaskan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.
Hal ini relevan dengan ayat (1) dan (2) Pasal
29 UUD 1945 (Ali, 2009: 118).Jelaslah
bahwa ada hubungan
antara sila Ketuhanan Yang Maha
Esa dalam Pancasila
dengan ajaran tauhid dalam
teologi Islam. Jelaslah
pula bahwa sila
pertama Pancasila yang merupakan prima causa atau sebab pertama itu
(meskipun istilah prima causa tidak selalu tepat, sebab Tuhan terus-menerus
mengurus makhluknya), sejalan dengan beberapa ajaran tauhid Islam,
dalam hal ini ajaran tentang tauhidus-shifat dan tauhidul-af’al, dalam
pengertian bahwa Tuhan itu
Esa dalam sifat-Nya
dan perbuatan-Nya. Ajaran ini
juga diterima oleh
agama-agama lain di Indonesia (Thalib dan Awwas, 1999: 63).
Prinsip ke-Tuhanan Ir.
Soekarno itu didapat
dari -atau
sekurang-kurangnya diilhami oleh
uraian-uraian dari para pemimpin
Islam yang berbicara
mendahului Ir. Soekarno dalam
Badan Penyelidik itu,
dikuatkan dengan keterangan Mohamad
Roem. Pemimpin Masyumi
yang terkenal ini menerangkan
bahwa dalam Badan
Penyelidik itu Ir. Soekarno
merupakan pembicara terakhir;
dan membaca pidatonya orang mendapat kesan bahwa pikiranpikiran para
anggota yang berbicara
sebelumnya telah tercakup di
dalam pidatonya itu,
dan dengan sendirinya perhatian tertuju
kepada (pidato) yang
terpenting. Komentar Roem, “Pidato
penutup yang bersifat menghimpun pidato-pidato
yang telah diucapkansebelumnya” (Thalib dan Awwas, 1999:
63).Prinsip Ketuhanan Yang
Maha Esa mengandung makna bahwa
manusia Indonesia harus
mengabdi kepada satu Tuhan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa dan mengalahkan ilah-ilah atau
Tuhan-Tuhan lain yang
bisa mempersekutukannya.
Dalam bahasa formal
yang telah disepakati bersama
sebagai perjanjian bangsa
sama maknanya dengan kalimat “Tiada Tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa”.
Di mana pengertian
arti kata Tuhan
adalah sesuatu yang kita
taati perintahnya dan
kehendaknya.Prinsip dasar pengabdian adalah
tidak boleh punya
dua tuan, hanya satu tuannya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Jadi
itulah yang menjadi
misi utama tugas
para pengemban risalah untuk
mengajak manusia mengabdi
kepada satu Tuan, yaitu
Tuhan Yang Maha
Esa .
Pada saat
kemerdekaan, sekularisme dan
pemisahan agama dari negara
didefinisikan melalui Pancasila.
Ini penting untuk dicatat karena
Pancasila tidak memasukkan
kata sekularisme yang
secara jelas menyerukan
untuk memisahkan agama dan
politik atau menegaskan
bahwa negara harus tidak
memiliki agama. Akan
tetapi, hal-hal tersebut terlihat
dari fakta bahwa Pancasila tidak mengakui satu
agama pun sebagai
agama yang diistimewakan kedudukannya oleh
negara dan dari
komitmennya terhadap
masyarakat yang plural
dan egaliter. Namun, dengan
hanya mengakui lima
agama (sekarang menjadi
6 agama: Islam, Kristen
Katolik, Kristen Protestan,
Hindu, Budha dan Konghucu)
secara resmi, negara
Indonesia membatasi pilihan identitas
keagamaan yang bisa
dimiliki oleh warga negara.
Pandangan yang dominan
terhadap Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia
secara jelas menyebutkan tempat
bagi orang yang
menganut agama tersebut, tetapi
tidak bagi mereka yang tidak menganutnya. Pemahaman ini
juga memasukkan kalangan
sekuler yang menganut agama
tersebut, tapi tidak
memasukkan kalangan sekuler yang
tidak menganutnya. Seperti
yang telah ditelaah Madjid,
meskipun Pancasila berfungsi sebagai kerangka
yang mengatur masyarakat
di tingkat nasional maupun
lokal, sebagai individu
orang Indonesia bisa dan bahkan
didorong untuk memiliki pandangan hidup personal yang berdasarkan agama
(An-Na’im, 2007: 439).
Dalam hubungan
antara agama Islam
dan Pancasila, keduanya dapat
berjalan saling menunjang
dan saling mengokohkan. Keduanya
tidak bertentangan dan
tidak boleh dipertentangkan. Juga
tidak harus dipilih
salah satu dengan sekaligus
membuang dan menanggalkan yang lain. Selanjutnya Kiai
Achamd Siddiq menyatakan bahwa
salah satu hambatan utama
bagi proporsionalisasi ini
berwujud hambatan
psikologis, yaitu kecurigaan
dan kekhawatiran yang datang
dari dua arah
(Zada dan Sjadzili
(ed), 2010: 79). hubungan negara
dengan agama menurut NKRI
yang berdasarkan Pancasila
adalah sebagai berikut (Kaelan, 2012: 215-216):
a. Negara
adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
b. Bangsa Indonesia
adalah sebagai bangsa
yang berKetuhanan yang Maha
Esa. Konsekuensinya setiap warga
memiliki hak asasi
untuk memeluk dan menjalankan ibadah
sesuai dengan agama
masingmasing.
c. Tidak
ada tempat bagi atheisme dan sekularisme karena hakikatnya manusia
berkedudukan kodrat sebagai makhluk Tuhan.
d. Tidak ada
tempat bagi pertentangan
agama, golongan agama, antar
dan inter pemeluk
agama serta antar pemeluk agama.
e. Tidak ada
tempat bagi pemaksaan
agama karena ketakwaan itu bukan
hasil peksaan bagi siapapun juga.
f. Memberikan toleransi
terhadap orang lain
dalam menjalankan agama dalam negara.
g. Segala aspek
dalam melaksanakan dan menyelenggatakan negara
harus sesuai dengan
nilainilai Ketuhanan yang Maha Esa terutama norma-norma Hukum positif
maupun norma moral baik moral agama maupun moral para penyelenggara negara.
h. Negara
pda hakikatnya adalah
merupakan “…berkat rahmat Allah
yang Maha Esa”.
Berdasarkan
kesimpulan Kongres Pancasila (Wahyudi (ed.), 2009: 58), dijelaskan bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang religius.
Religiusitas bangsa Indonesia
ini, secara filosofis merupakan
nilai fundamental yang meneguhkan eksistensi
negara Indonesia sebagai
negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan
dasar kerohanian bangsa
dan menjadi penopang utama
bagi persatuan dan
kesatuan bangsa dalam rangka
menjamin keutuhan NKRI.
Karena itu, agar terjalin hubungan selaras dan harmonis
antara agama dan negara, maka negara sesuai dengan Dasar Negara Pancasila
wajib memberikan perlindungan
kepada agama-agama di Indonesia.
C.
Makna Ketuhanan Yang Maha Esa
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha
Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:
Pertama, Pancasila lahir dalam suasana
kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan
persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam
Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat
persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan
penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk
menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat pengesahan UUD,
18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga
dan memelihara persatuan dan persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini
berarti, tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding fathers bangsa
Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa
sebagai tujuan utama yang harus berada di atas kepentingan primordial lainnya.
Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun
1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah
sebab yang pertama atau causa prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan
rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara
dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam
melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara
oleh rakyat.
Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun
1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa”
harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara
utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa:
Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan
yang berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang
berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan)
yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab,
berkerakyatan dan berkeadilan sosial; (4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang
Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan
Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial, yang
ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang
bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa
sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa
dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal
kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan.
Keempat, “Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau
paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti
komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang
Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2
UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan
untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak
beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan
pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut
secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain
D.
Kontrovensi
Pancasila dan Agama
Sebagai sebuah negara yang mayoritas penduduknya
memeluk agama islam, maka Pancasila sendiri
sebagai dasar negara
Indonesia tidak bisa
lepas dari pengaruh agama yang
tertuang dalam sila pertama yang berbunyi sila “Ketuhanan yang Maha Esa”. yang
pada awalnya berbunyi “… dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi
pemeluknya” yang sejak saat itu dikenal sebagai Piagam Jakarta. Namun ada
dua ormas Islam
terbesar saat itu
yang menentang bunyi
sila pertama tersebut, karena
dua ormas Islam
tersebut menyadari bahwa
jika syariat Islam diterapkan
maka secara tidak
langsung akan menjadikan.
Indonesia
sebagai negara Islam yang
utuh maka hal tersebut
dapat memojokkan umat
beragama lainnya. Yang lebih buruk lagi
adalah akan memecah belah
bangsa ini khususnya bagi provingsi-provingsi yang sebagian
besar penduduknya nonmuslim.
Karena itulah sampai detik ini bunyi sila pertama adalah “ketuhanan yang
maha esa” yang berarti bahwa Pancasila
mengakui dan menyakralkan
keberadaan Agama, tidak hanya
Islam namun termasuk
juga Kristen, Katolik,
Budha, khonhucu dan Hindu sebagai agama resmi negara pada saat
itu.
E.
Makna
Sila Pancasila dalam Agama
keterkaitan
hubungan antara rukun Islam sebagai landasan agama Isalam dan Pancasila sebagai
landasan negara Indonesia. Adapun hubungan itu yaitu pertama dari segi jumlah,
rukun Islam berjumlah lima begitupun pancasila. Kedua, dari segi makna yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa, sila ini
kerat aitannya denagn rukun Islam yang pertama yaitu syahadat. Secara umum,
sila ini menerangkan tentang ketuhanan begitu pun syahadat yang mempunyai makna
pengakuan terhadap tuhan yaitu Allah SWT. Selain itu, kata Esa sendiri berarti
tunggal, yang sebagaimana yang kita ketahui bahwa Isalm sebagai agama mayoritas
penduduk negeri ini mempunyai tuhan tunggal Allah SWT.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab sila kedua pancasila, berkaitan dengan rukun Islam kedua yaitu Shalat. Shalat dalam Islam selain sebagai ibadah wajib juga dilakukan untuk mendidik manusia menjadi manusia yang beradab. Sholat adalah sebuah media untuk mencegah perbuatan yang tidak terpuji, sebagai mana yang di firmankan oleh Allah bahwa Shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar.
- Persatuan Indonesia yang artinya seluruh elemen rakyat yang ada di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku dan adat bersatu dan membentuk kesatuan dalam wadah bangsa Indonesia. Kaitannya dengan itu, persatuan terbentuk ketika jurang pemisah sudah tidak ada lagi di masyarakat. salah satu jurang pemisah yang paling nyata yaitu jurang antara yang miskin dan yang kaya. Untuk menyatukan jurang pemisah tersebut maka di agama Islam diwajibkan membayar zakat bagi orang-orang kaya yang akan disalurkan untuk kepentingan kaum miskin dan duafa. Zakat yang notabennya adalah rukun Islam ketiga sangat erat kaitannya dengan poin pancasila ketiga tersebut. Dengan zakat akan terbentuk rasa kasih sayang pada umat yang akan menghasilkan persatuan yang di cita-citakan.
- Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat, kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan sangat erat kaitannya dengan rukun islam keempat yaitu puasa. Dengan pusas akan terbentuk sifat bijaksana dan kepemimpinan. Ciri orang bijaksana, yaitu ia mampu merasakan dan mempumnyuai rasa kasih sayang sesame, semua itu adalah hikmah dari puasa. Selain itu, dalam menentukan waktu puasa, perlu dilakukan suatu musyawarah yang dikenal dengan siding istbat.
- Keadialan sosial bagi seluruh rakyat Indionesia. Pada rukun Islam, terdapat yang namanya haji. Haji adalah proses sosial yang terbesar di dunia ini, dimana setiap orang datang dari berbagai negara dengan berbagai bahasa dan kebiasaan bergabung menjadi satu dalam satu tempat dan waktu dalam kedudukan yang sama. Di dalalam haji, tidak memandang itu siapa dan siapa, semuanya sama, pakaiannya sama dan peraturan dan hukumnya sama. Semua itu adalah cerminan dari keadilan tuhan.
F.
Implikasi
Agama dalam Kehidupan Berdasarkan Pancasila
Pancasila dan
agama dapat diaplikasikan
seiring sejalan dan saling
mendukung. Agama dapat
mendorong aplikasi
nilai-nilai Pancasila, begitu
pula Pancasila memberikan ruang
gerak yang seluas-luasnya terhadap usaha-usaha peningkatan
pemahaman, penghayatan dan pengamalan agama
(Eksan, 2000). Abdurrahman
Wahid (Gusdur) pun menjelaskan bahwa sudah tidak relevan lagi untuk melihat
apakah nilai-nilai dasar
itu ditarik oleh Pancasila dari
agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
karena ajaran agama-agama
juga tetap menjadi referensi
umum bagi Pancasila,
dan agamaagama harus
memperhitungkan eksistensi Pancasila sebagai “polisi
lalu lintas” yang
akan menjamin semua pihak
dapat menggunakan jalan
raya kehidupan bangsa tanpa terkecuali (Oesman dan Alfian,
1990: 167-168).
Moral Pancasila
bersifat rasional, objektif
dan universal dalam arti berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia.
Moral Pancasila juga
dapat disebut otonom
karena nilainilainya tidak
mendapat pengaruh dari
luar hakikat manusia Indonesia,
dan dapat dipertanggungjawabkan secara filosofis.
Tidak dapat pula
diletakkan adanya bantuan dari
nilai-nilai agama, adat,
dan budaya, karena secara de facto
nilai-nilai Pancasila berasal
dari agama agama serta budaya
manusia Indonesia. Hanya saja
nilainilai yang hidup
tersebut tidak menentukan
dasar-dasar Pancasila,
tetapi memberikan bantuan
dan memperkuat (Anshoriy, 2008: 177).Sejalan dengan
pendapat tersebut, Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
menyatakan dalam Sambutan pada
Peringatan Hari Kesaktian
Pancasila pada 1
Oktober 2005.
“Bangsa kita
adalah bangsa yang
relijius; juga, bangsa yang
menjunjung tinggi, menghormati dan mengamalkan
ajaran agama masing-masing. Karena itu,
setiap umat beragama
hendaknya memahami falsafah Pancasila
itu sejalan dengan nilai-nilai ajaran
agamanya masing-masing.
Dengan demikian, kita
akan menempatkan falsafah negara
di posisinya yang
wajar. Saya berkeyakinan dengan
sedalam-dalamnya bahwa lima sila
di dalam Pancasila
itu selaras dengan ajaran agama-agama yang hidup dan
berkembang di tanah air.
Dengan demikian, kita
dapat menghindari adanya perasaan
kesenjangan antara meyakini dan mengamalkan ajaran-ajaran agama, serta
untuk menerima Pancasila
sebagai falsafah negara (Yudhoyono
dalam Wildan (ed.), 2010: 172).
Dengan penerimaan
Pancasila oleh hampir
seluruh kekuatan bangsa, sebenarnya
tidak ada alasan
lagi untuk mempertentangkan nilai-nilai
Pancasila dengan agama mana pun di Indonesia. Penerimaan sadar
ini memerlukan waktu lama tidak kurang dari 40 tahun dalam perhitungan
Maarif, sebuah pergulatan
sengit yang telah menguras energi kita
sebagai bangsa. Sebagai
buah dari pergumulan panjang itu,
sekarang secara teoretik
dari kelima nilai Pancasila tidak
satu pun lagi
yang dianggap berlawanan dengan agama. Sila pertama berupa
“Ketuhanan Yang Maha Esa” dikunci
oleh sila kelima.
Diharapkan sebagai
bangsa indonesia yang
rakyatnya memiliki berbagai macam suku
, budaya dan
agama, harus saling
menghormati, manghargai dan menyayangi antara satu suku dan suku
lainnya dan antara satu agama dan agama lainnya. Agar timbul kedamaian dan
kerukunan di negara ini. Jangan
Hanya karena merasa
berasal dari agama
mayoritas, kita merendahkan umat
yang berbeda agama
ataupun membuat aturan
yang secara langsung dan tidak
langsung memaksakan aturan agama yang
dianut atau standar agama tertentu kepada pemeluk agama lainya dengan dalih
moralitas. Hendaknya kita tidak
menggunakan standar sebuah
agama tertentu untuk dijadikan tolak
ukur nilai moralitas
bangsa Indonesia
Untuk semakin memperkuatrasa bangga terhadap Pancasila dan
memahami tentang kerukunan beragama
maka perlu adanya
peningkatan pengamalan butirbutir Pancasila khususnya sila ke-1.
Untuk menjadi sebuah
negara Pancasila yang
nyaman bagi rakyatnya, diperlukan adanya
jaminan keamanan dan
kesejahteraan setiap masyarakat
yang ada di dalamnya.
Khususnya jaminan keamanan
dalam melaksanakan kegiatan beribadah.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang, pembahasan di atas, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut: Sebagai
negara yang terdiri
dari berbagai macam
agama, suku, ras
dan bahasa Pancasila adalah
ideologi yang sangat
baik untuk diterapkan
di negara Indonesia. Sehingga
jika ideologi Pancasila
diganti oleh ideologi
yang berlatar belakang agama, akan
terjadi ketidaknyamanan bagi rakyat yang memeluk agama di luar agama yang
dijadikan ideologi negara tersebut.Dengan
tetap menjunjung tinggi
ideologi Pancasila sebagai
dasar negara, maka perwujudan
untuk menuju negara
yang aman dan
sejahtera pasti akan tercapai.
B.
Saran
Untuk
mengembangkan nilai-nilai Pancasila
dan memadukannya dengan agama,
harus memiliki rasa
nasionalisme yang tinggi.
Selain itu, kita
juga harus mempunyai kemauan yang
keras guna mewujudkan negara Indonesia yang aman, makmur dan nyaman bagi setiap
orang yang berada di dalamnya serta
selalu rukun antar umat beragam dengan cara saling menghormati dan menghargai.
DAFTAR PUSTAKA
Nopirin.
1980. Beberapa Hal Mengenai
Falsafah Pancasila, Cet.
9. Jakarta: Pancoran Tujuh.
Notonagoro. 1980. Beberapa
Hal Mengenai Falsafah
Pancasila dengan Kelangsungan Agama, Cet. 8. Jakarta:
Pantjoran Tujuh.
Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka
Cipta Koentjaraningrat. 1980. Manusia dan
Agama. Jakarta: PT. Gramedia.
Terima kasih kk, postingan ini sangat membantu :D
ReplyDeleteTerima kasih kk, postingannya sangat membantu saya untuk membuat makalah pancasila mengenai apakah kita meng-agama-kan pancasila. izin di sedot yah buat di jadikan materi makalah saya.
ReplyDeleteblognya lucu,dan membantu sekali. :)
ReplyDeleteikut nyomot kk buat bahan tugas
ReplyDeleteterimakasih admin, terbantu sekali buat referensi tugas
ReplyDeleteIzin share kak, buat tugas.
ReplyDeleteIzin share kak, buat tugas.
ReplyDeleteterimakasih kakak atas ilmunya, semoga kakak berkenan mengizinkan kepada saya untuk menjadikan bahan referensi makalah
ReplyDeleteijin kk buat bahan tugas
ReplyDeleteijin copas untuk bahan pp saya ya min
ReplyDeletemakasih
Makasih banyak untuk Artikel/Makalah-nya. Insyaallah ini bermanfaat.
ReplyDeleteKak saya izin mau ngutip buat tugas ya kak
ReplyDelete