LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM
1.
Pengertian Landasan Pengembangan Kurikulum
Hornby c.s dalam “The Advance
Learner’s Dictionary of Current English” (Redja Mudyahardjo, 2001:8)
mengemukakan definisi landasan sebagai berikut: “Foundation … that on which an idea or belief rest; an underlying
principle‟s as the foundations of religious belief; the basis or starting
point…”. Jadi menurut Hornby landasan adalah suatu gagasan atau kepercayaan
yang menjadi sandaran, sesuatu prinsip yang mendasari, contohnya seperti
landasan kepercayaan agama, dasar atau titik tolak.
Menurut
Soedijarto, “Kurikulum adalah segala pengalaman dan kegiatan belajar yang
direncanakan dan diorganisir untuk diatasi oleh siswa atau mahasiswa untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan bagi suatu lembaga
pendidikan”.
Dengan demikian landasan
pengembangan kurikulum dapat diartikan sebagai suatu gagasan, asumsi atau
prinsip yang menjadi sandaran atau titik tolak dalam mengembangkan kurikulum.
Robert S. Zais (1976) mengemukakan
empat landasan pengembangan kurikulum, yaitu: Philosophy and the nature of
knowledge, society and culture, the individual, dan learning theory.
Kurikulum sebagai suatu sistem terdiri atas empat komponen, yaitu: komponen
tujuan (aims, goals, objectives), isi/materi (contents), proses
pembelajaran (learning activities), dan komponen evaluasi (evaluations).
Agar setiap komponen bisa menjalankan fungsinya secara tepat dan bersinergi,
maka perlu ditopang oleh sejumlah landasan (foundations), yaitu landasan
filosofis sebagai landasan utama, masyarakat dan kebudayaan, individu (peserta
didik), dan teori-teori belajar.
Tyler (1988) mengemukakan pandangan
yang erat kaitannya dengan beberapa aspek yang melandasi suatu kurikulum (school
purposes), yaitu: “Use of philosophy, studies of learners, suggestions
from subject specialist, studies of contemporary life, dan use of psychology of
learning”.
Berdasarkan kedua pendapat di atas,
secara umum dapat disimpulkan bahwa landasan pokok dalam pengembangan kurikulum
dikelompokkan ke dalam empat jenis, yaitu: landasan filosofis, landasan
psikologis, landasan sosiologis, dan landasan ilmu pengetahuan dan teknologi
(iptek).
2.
Landasan Filosofis Pengembangan Kurikulum
Secara
harfiah filsafat berarti “cinta akan kebijakan” ( love of wisdom), untuk
mengerti dan berbuat secara bijak, ia harus memiliki pengetahuan, dan
pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir, yaitu berpikir secara
mendalam, logis dan sistematis. Dalam pengertian umum filsafat adalah cara
berpikir secara radikal, menyeluruh dan mendalam (Socrates) atau cara berpikir
yang mengupas sesuatu sedalam-dalamnya. Plato menyebut filsafat sebagai ilmu
pengetahuan tentang kebenaran.
Adapun yang
dimaksud dengan landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum ialah
asumsi-asumsi atau rumusan yang didapatkan dari hasil berpikir secara mendalam,
analitis, logis dan sistematis (filosofis) dalam merencanakan, melaksanakan,
membina dan mengembangkan kurikulum. Penggunaan filsafat tersebut baik dalam
pengembangan kurikulum dalam bentuk program (tertulis), maupun kurikulum dalam
bentuk pelaksanaan (operasional) di sekolah.
Filsafat akan
menentukan arah ke mana peserta didik akan dibawa, filsafat merupakan perangkat
nilai-nilai yang melandasi dan membimbing ke arah pencapaian tujuan pendidikan.
Oleh karena itu, filsafat yang dianut oleh suatu bangsa atau kelompok
masyarakat tertentu termasuk yang dianut oleh perorangan sekalipun akan sangat
mempengaruhi tehadap pendidikan yang ingin direalisasikan.
Filsafat berupaya
mengkaji berbagai permasalahan yang dihadapi manusia, termasuk masalah
pendidikan. Pendidikan sebagai ilmu terapan, tentu saja memerlukan ilmu-ilmu
lain sebagai penunjang, di antaranya adalah filsafat. Filsafat pendidikan pada
dasarnya adalah penerapan dan pemikiran-pemikiran filosofis untuk memecahkan
masalah-masalah pendidikan. Menurut Redja Mudyahardjo (1989), terdapat tiga
sistem pemikiran filsafat yang sangat besar pengaruhnya dalam pemikiran
pendidikan pada umumnya, dan pendidikan di Indonesia pada khususnya, yaitu:
filsafat Idealisme, Realisme dan filsafat Fragmatisme.
a.
Filsafat
idealisme
Menurut filsafat
idealisme bahwa kenyataan atau realitas pada hakikatnya adalah bersifat
spiritual daripada bersifat fisik, bersifat mental daripada material. Dengan
demikian menurut filsafat idealisme bahwa manusia adalah mahluk spiritual,
mahluk yang cerdas dan bertujuan. Pikiran manusia diberikan kemampuan rasional
sehingga dapat menentukan pilihan mana yang harus diikutinya.
Berdasarkan
pemikiran filsafat idealisme bahwa tujuan pendidikan harus dikembangkan pada
upaya pembentukan karakter, pembentukan bakat insani dan kebajikan sosial
sesuai dengan hakikat kemanusiaannya. Dengan demikian tujuan pendidikan dari
mulai tingkat pusat (ideal) sampai pada rumusan tujuan yang lebih operasional
(pembelajaran) harus merefleksikan pembentukan karakter, pengembangan bakat dan
kebajikan sosial sesuai dengan fitrah kemanusiannya.
Isi kurikulum
atau sumber pengetahuan dirancang untuk mengembangkan kemampuan berpikir
manusia, menyiapkan keterampilan bekerja yang dilakukan melalui program dam
proses pendidikan secara praktis. Implikasi bagi para pendidik, yaitu
bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi
terselenggaranya pendidikan. Pendidik harus memiliki keunggulan. kompetitif
baik dalam segi intelektual maupun moral, sehingga dapat dijadikan panutan bagi
peserta didik.
b.
Filsafat
Realisme
Filsafat
realisme kebalikan dari filsafat idealisme, dimana menurut filsafat realisme
memandang bahwa dunia atau realitas adalah bersifat materi. Dunia terbentuk
dari kesatuan yang nyata, substansial dan material, sementara menurut filsafat
idealisme memandang bahwa realitas atau dunia bersifat mental, spiritual.
Menurut realisme bahwa manusia pada hakikatnya terletak pada apa yang
dikerjakannya.
Mengingat segala
sesuatu bersifat materi maka tujuan pendidikan hendaknya dirumuskan terutama
diarahkan untuk melakukan penyesusian diri dalam hidup dan melaksanakan
tanggung jawab sosial. Oleh karena itu kurikulum kalau didasarkan pada filsafat
realisme harus dikembangkan secara komprehensif meliputi pengetahuan yang bersifat
sains, sosial, maupun muatan nilai-nilai. Isi kurikulum lebih efektif
diorganisasikan dalam bentuk mata pelajaran karena memiliki kecenderungan
berorientasi pada mata pelakaran ( subject
centered)
Implikasi bagi
para pendidik terutama bahwa peran pendidik diposisikan sebagai pengelola
pendidikan atau pembelajaran. Untuk itu pendidik harus menguasai tugas-tugas
yang terkait dengan pendidikan khususnya dengan pembelajaran, seperti
penguasaan terhadap metode, media, dan strategi serta teknik pembelajaran.
Secara metodologis unrur pembiasaan memiliki arti yang sangat penting dan
diutamakan dalam mengimplementasikan program pendidikan atau pembelajaran
filsafat realisme.
c.
Filosofis
Pragmatisme
Filsafat
fragmatisme memandang bahwa kenyataan tidaklah mungkin dan tidak perlu.
Kenyataan yang sebenarnya adalah kenyataan fisik, plural dan berubah ( becoming). Manusia menurut fragmatisme adalah hasil evolusi
biologis, psikologis dan sosial. Manusia lahir tanpa dibekali oleh kemampuan
bahasa, keyakinan, gagasan atau norma-norma.
Nilai baik dan
buruk ditentukan secara ekseperimental dalam pengalaman hidup, jika hasilnya
berguna maka tingkah laku tersebut dipandang baik. Oleh karena itu tujuan
pendidikan tidak ada batas akhirnya, sebab pendidikan adalah pertumbuhan
sepanjang hayat, proses rekonstruksi yang berlangsung secara terus menerus.
Tujuan pendidikan lebih diarahkan pada upaya untuk memperoleh pengalaman yang
berguna untuk memecahkan masalah baru dalam kehidupan individu maupun sosial.
Implikasi
terhadap pengembangan isi atau bahan dalam kurikulum ialah harus memuat
pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan
siswa. Warisan-warisan sosial dan masa lalu tidak mmenjadi masalah, karena
fokus pendidikan menurut faham fragmatisme adalah menyongsong kehidupan yang
lebih baik pada saat ini maupun di masa yang akan datang. Oleh karena itu
proses pendidikan dan pembelajaran secara metodologis harus diarahkan pada
upaya pemecahan masalah, penyelidikan dan penemuan. Peran pendidik adalah
memimpin dan membimbing peserta didik untuk belajar tanpa harus terlampau jauh
mendikte para siswa.
3.
Landasan Psikologis Pengembangan Kurikulum
Psikologi adalah
ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam hubungan dengan lingkuingan,
sedangkan kurikulum adalah upaya menentukan program pendidikan untuk merubah
perilaku manusia. Oleh sebab itu dalam mengembangkan kurikulum harus dilandasi
oleh psikologi sebagai acuan dalam menentukan apa dan bagaimana perilaku
peserta didik itu harus dikembangkan.
Landasan
psikologi dalam pengembangan kurikulum, tiada lain agar upaya pendidikan yang
dilakukan dapat menyesuaikan dengan hakikat peserta didik, baik penyesuaian
dari segi materi atau bahan yang harus disampaikan, penyesuaian dari segi
proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari unsur-unsur upaya
pendidikan lainnya.
Karakteristik
perilaku setiap individu pada berbagai tingkatan perkembangan merupakan kajian
dari psikologi perkembangan, dan oleh karena itu dalam pengembangan kurikulum
yang senantiasa berhubungan dengan program pendidikan untuk kepentingan peserta
didik, maka landasan psikologi mutlak harus dijadikan dasar dalam upaya pengembangannya.
Perkembangan yang dialami oleh peserta didik pada umumnya diperoleh melalui
proses belajar.
Psikologi
perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi kurikulum yang diberikan
kepada siswa, baik tingkat kedalaman dan keluasan materi, tingkat kesulitan dan
kelayakannya serta kebermanfaatan materi senantiasa disesuaikan dengan tarap
perkembangan peserta didik.
1.
Perkembangan
Peserta didik dan Kurikulum
Pemahaman tentang perkembangan
peserta didik sebagaimana diuraikan di atas berimplikasi terhadap pengembangan
kurikulum, antara lain:
a. Setiap
peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat,
minat, dan kebutuhannya.
b. Di
samping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (program inti) yang wajib
dipelajari setiap anak di sekolah, juga perlu disediakan pelajaran pilihan yang
sesuai dengan minat anak.
c. Lembaga
pendidikan hendaknya menyediakan bahan ajar baik yang bersifat kejuruan maupun
akademik. Bagi anak yang berbakat di bidang akademik diberi kesempatan untuk
melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya.
d. Kurikulum
memuat tujuan-tujuan yang mengandung aspek pengetahuan, nilai/sikap, dan
keterampilan yang menggambarkan pribadi yang utuh lahir dan batin.
Implikasi
lain dari pemahaman tentang peserta didik terhadap proses pembelajaran (actual
curriculum) dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Tujuan
pembelajaran yang dirumuskan secara operasional selalu berpusat kepada
perubahan tingkah laku peserta didik.
b. Bahan/materi
yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan, minat, dan kebutuhan peserta
didik sehingga hasilnya bermakna bagi mereka.
c. Strategi
belajar mengajar yang digunakan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak.
d. Media
yang dipakai senantiasa dapat menarik perhatian dan minat anak.
e. Sistem
evaluasi harus dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan.
2.
Psikologi
belajar dan kurikulum
Psikologi
belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu belajar. Pembahasan
tentang psikologi belajar erat kaitannya dengan teori belajar. Pemahaman
tentang teori-teori belajar berdasarkan pendekatan psikologis adalah upaya
mengenali kondisi objektif terhadap individu anak yang sedang mengalami proses
belajar dalam rangka pertumbuhan dan perkembangan menuju kedewasaannya.
Sedikitnya ada
tiga jenis teori belajar yang berkembang dewasa ini dan memiliki pengaruh
terhadap pengembangan kurikulum di Indonesia pada khususnya. Teori belajar
tersebut adalah: (1) Teori psikologi kognitif (kognitivisme), (2) teori
psikologi humanistic, dan (3) teori psikologi behavioristik.
a. Teori
Psikologi Kognitif (Kognitivisme)
Teori psikologi kognitif dikenal
dengan cognitif gestalt field. Teori belajar ini adalah teori insight.
Aliran ini bersumber dari Psikologi Gestalt Field. Menurut mereka belajar
adalah proses mengembangkan insight atau pemahaman baru atau mengubah
pemahaman lama. Pemahaman terjadi apabila individu menemukan cara baru dalam
menggunakan unsur-unsur yang ada di lingkungan, termasuk struktur tubuhnya
sendiri. Gestalt Field melihat belajar merupakan perbuatan yang bertujuan,
ekplorasi, imajinatif, dan kreatif. Pemahaman atau insight merupakan
citra dari atau perasaan tentang pola-pola atau hubungan.
b. Teori
Psikologi Behavioristik
Teori belajar behavioristik disebut
juga Stimulus-Respon Theory (S-R). Kelompok ini mencakup tiga
teori yaitu S-R Bond, Conditioning, dan Reinforcement. Kelompok
teori ini berangkat dari asumsi bahwa anak atau individu tidak
memiliki/membawa potensi apa-apa dari kelahirannya. Perkembangan anak
ditentukan oleh faktor-faktor yang berasal dari lingkungan. Lingkunganlah yang
membentuknya, apakah lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat; lingkungan
manusia, alam, budaya, maupun religi. Kelompok teori ini tidak mengakui sesuatu
yang bersifat mental. Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang dapat
diamati dan menekankan pada pengaruh faktor eksternal pada diri individu.
c.
Teori
psikologi humanistik
Tokoh teori ini adalah Abraham H.
Maslow dan Carl R. Roger. Teori ini berpandangan bahwa perilaku manusia itu
ditentukan oleh dirinya sendiri, oleh faktor internal, dan bukan oleh faktor
lingkungan. Karena itu teori ini disebut juga dengan “self theory”. Manusia
yang mencapai puncak perkembangannya adalah yang mampu mengaktualisasikan
dirinya, mampu mengembangkan potensinya dan merasa dirinya itu utuh, bermakna,
dan berfungsi atau full functioning person (Y. Suyitno, 2007:103).
teori humanistik menolak proses
mekanis dalam belajar, karena belajar adalah suatu proses mengembangkan pribadi
secara utuh. Keberhasilan siswa dalam belajar tidak ditentukan oleh guru atau
faktor-faktor eksternal lainnya, akan tetapi oleh siswa itu sendiri.
4.
Landasan Sosiologis Pengembangan Kurikulum
Landasan sosiologis
pengembangan kurikulum adalah asumsi-asumsi yang berasal dari
sosiologi yang dijadikan titik tolak dalam pengembangan kurikulum. Mengapa
pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis? Anak-anak berasal
dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun non
formal dalam lingkungan masyarakat, dan diarahkan agar mampu terjun dalam
kehidupan bermasyarakat. Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan
segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam
melaksanakan pendidikan.
Jika dipandang
dari sosiologi, pendidikan adalah proses mempersiapkan individu agar menjadi
warga masyarakat yang diharapkan, pendidikan adalah proses sosialisasi, dan
berdasarkan pandangan antrofologi, pendidikan adalah “enkulturasi” atau
pembudayaan. “Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia-manusia
yang lain dan asing terhadap masyarakatnya, tetapi manusia yang lebih bermutu,
mengerti, dan mampu membangun masyarakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi,
maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kondisi, karakteristik
kekayaan, dan perkembangan masyarakat tersebut”
(Nana Syaodih
Sukmadinata, 1997:58). Untuk menjadikan peserta didik agar menjadi warga
masyarakat yang diharapkan maka pendidikan memiliki peranan penting, karena itu
kurikulum harus mampu memfasilitasi peserta didik agar mereka mampu bekerja
sama, berinteraksi, menyesuaikan diri dengan kehidupan di masyarakat dan mampu
meningkatkan harkat dan martabatnya sebagai mahluk yang berbudaya.
a. Masyarakat
dan Kurikulum
Masyarakat adalah suatu kelompok
individu yang diorganisasikan mereka sendiri ke dalam kelompok-kelompok
berbeda, atau suatu kelompok individu yang terorganisir yang berpikir tentang
dirinya sebagai suatu yang berbeda dengan kelompok atau masyarakat lainnya.
Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Dengan demikian, yang
membedakan masyarakat satu dengan masyarakat yang lainnya adalah kebudayaan.
Hal ini mempunyai implikasi bahwa apa yang menjadi keyakinan pemikiran
seseorang, dan reaksi seseorang terhadap lingkungannya sangat tergantung kepada
kebudayaan dimana ia hidup.
Calhoun, Light, dan Keller (1997)
memaparkan tujuah fungsi sosial pendidikan, yaitu:
1.
Mengajar keterampilan.
2.
Mentransmisikan budaya.
3.
Mendorong adaptasi lingkungan.
4.
Membentuk kedisiplinan.
5.
Mendorong bekerja berkelompok.
6.
Meningkatkan perilaku etik, dan
7.
Memilih bakat dan memberi penghargaan
prestasi.
b. Kebudayaan
dan Kurikulum
Kebudayaan dapat diartikan sebagai
keseluruhan ide atau gagasan, cita-cita, pengetahuan, kepercayaan, cara
berpikir, kesenian, dan nilai yang telah disepakati oleh masyarakat. Daoed
Yusuf (1981) mendefinisikan kebudayaan sebagai segenap perwujudan dan
keseluruhan hasil pikiran (logika), kemauan (etika) serta perasaan (estetika)
manusia dalam rangka perkembangan kepribadian manusia, pekembangan hubungan
dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan
Yang Maha Esa.
Faktor kebudayaan merupakan bagian
yang penting dalam pengembangan kurikulum dengan pertimbangan:
1. Individu
lahir tidak berbudaya, baik dalam hal kebiasaan, cita-cita, sikap, pengetahuan,
keterampilan, dan sebagainya. Semua itu dapat diperoleh individu melalui
interaksi dengan lingkungan budaya, keluarga, masyarakat sekitar, dan
sekolah/lembaga pendidikan. Oleh karena itu, sekolah/lembaga pendidikan
mempunyai tugas khusus untuk memberikan pengalaman kepada para peserta didik
dengan salah satu alat yang disebut kurikulum.
2. Kurikulum
pada dasarnya harus mengakomodasi aspek-aspek sosial dan budaya. Aspek
sosiologis adalah yang berkenaan dengan kondisi sosial masyarakat yang sangat
beragam, seperti masyarakat industri, pertanian, nelayan, dan sebagainya.
Pendidikan di sekolah pada dasarnya bertujuan mendidik anggota masyarakat agar
dapat hidup berintegrasi, berinteraksi dan beradaptasi dengan anggota
masyarakat lainnya serta meningkatkan kualitas hidupnya sebagai mahluk
berbudaya. Hal ini membawa implikasi bahwa kurikulum sebagai salah satu alat
untuk mencapai tujuan pendidikan harus bermuatan kebudayaan yang bersifat umum
seperti: nilai-nilai, sikap-sikap, pengetahuan, dan kecakapan.
5.
Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Pengembangan
Kurikulum
Ilmu pengetahuan
adalah seperangkat pengetahuan yang disusun secara sistematis yang dihasilkan
melalui riset atau penelitian. Sedangkan teknologi adalah aplikasi dari ilmu
pengetahuan untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupan. Ilmu dan
teknologi tidak bisa dipisahkan. Sejak abad pertengahan ilmu pengetahuan telah
berkembang dengan pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa kini banyak
didasari oleh penemuan dan hasil pemikiran para filsuf purba seperti Plato,
Socrates, Aristoteles, John Dewey, Archimides, dan lain-lain.
Seiring dengan
perkembangan pemikiran manusia, dewasa ini banyak dihasilkan temuan-temuan baru
dalam berbagai bidang kehidupan manusia seperti kehidupan sosial, ekonomi,
budaya, politik, dan kehidupan lainnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
bukan menjadi monopoli suatu bangsa atau kelompok tertentu. Baik secara
langsung maupun tidak langsung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
tersebut berpengaruh pula terhadap pendidikan. Perkembangan teknologi industri
mempunyai hubungan timbal-balik dengan pendidikan. Industri dengan teknologi
maju memproduksi berbagai macam alat-alat dan bahan yang secara langsung atau
tidak langsung dibutuhkan dalam pendidikan dan sekaligus menuntut sumber daya
manusia yang handal untuk mengaplikasikannya.
Kegiatan
pendidikan membutuhkan dukungan dari penggunaan alat-alat hasil industri
seperti televisi, radio, video, komputer, dan peralatan lainnya. Penggunaan
alat-alat yang dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan program pendidikan,
apalagi disaat perkembangan produk teknologi komunikasi yang semakin canggih,
menuntut pengetahuan dan keterampilan serta kecakapan yang memadai dari para
guru dan pelaksana program pendidikan lainnya. Mengingat pendidikan merupakan
upaya menyiapkan siswa menghadapi masa depan dan perubahan masyarakat yang
semakin pesat termasuk di dalamnya perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka pengembangan kurikulum haruslah berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung berimplikasi terhadap
pengembangan kurikulum yang di dalamnya mencakup pengembangan isi/materi
pendidikan, penggunaan strategi dan media pembelajaran, serta penggunaan sistem
evaluasi. Secara tidak langsung menuntut dunia pendidikan untuk dapat membekali
peserta didik agar memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi sebagai
pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah
pendidikan.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Kurikulum baik
pada tahap kurikulum sebagai ide, rencana, pengalaman maupun kurikulum sebagai
hasil dalam pengembangannya harus mengacu atau menggunakan landasan yang kuat
dan kokoh, agar kurikulum tersebut dapat berfungsi serta berperan sesuai dengan
tuntutan pendidikan yang ingin dihasilkan seperti tercantum dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional yang telah digariskan dalam UU no. 20 tahun 2003.
Pada prinsipnya
ada empat landasan pokok yang harus dijadikan dasar dalam setiap pengembangan
kurikulum, yaitu: Landasan Filosofis, Landasan psikologis, Landasan Sosiologis
dan Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
2.
Saran
Sebagai calon
guru, mengingat salah satu fungsi dan peran guru adalah sebagai pengembang
kurikulum. Adapun modal dasar agar dapat menghasilkan kurikulum yang dapat diterima
oleh pihak-pihak yang berkepentingan ( Stake
holder), salah satu syaratnya bahwa kurikulum harus dikembangkan dengan
didasarkan pada sejumlah landasan yang tepat, kuat dan kokoh.
DAFTAR PUSTAKA
Kelly. 1989. The
Curriculum. Theory and Practice. London. Paul Chapman Publishing
Kurniasih
dan Syaripudin, Tatang.
( 2007). Landasan Filosofis Pendidikan dan landasan Pendidikan.
Bandung: Sub Koordinator MKD Landasan Pendidikan Universitas Pendidikan
Indonesia.
Mudyahardo, Redja. (2001).
Landasan-Landasan Filosofis
Pendidikan. Bandung: Fakultas Ilmu
Pendidikan UPI.
Robert S. Zais (1976)
Sukmadinata, Nana Syaodih.1997. Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek. Bandung. Remaja Rosda
Karya.
Suyitno, Y. (2007). Landasan Psikologis Pendidikan dalam Landasan Pendidikan. Bandung:
Sub Koordinator MKDP Landasan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia.
Tirtarahardja, Umar dan Sula, La. (2000). Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta
Tyler (1988)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar
Grafika
Yusuf, Syamsu. (2005).
Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja Bandung: Remaja Rosdakarya.
ada tulisan saya tentang landasan pengembangan kurikulum PAI kalau mau buat perbandingan, silahkan kunjungi:
ReplyDeletehttp://pustakailmiah78.blogspot.co.id/2015/12/landasan-pengembangan-kurikulum_24.html?m=1