Anak Kebutuhan Khusus (Autisme)
A. Pengertian Autis
·
Kartono (2000) berpendapat bahwa Autisme adalah
gejala menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan
dunia luar keasyikan ekstrim dengan fikiran dan fantasi sendiri.
·
Supratiknya (1995) menyebutkan bahwa penyandang
autis memiliki ciri-ciri yaitu penderita senang menyendiri dan bersikap dingin
sejak kecil atau bayi, misalnya dengan tidak memberikan respon ( tersenyum, dan
sebagainya ), bila di ‘liling’, diberi makanan dan sebagainya, serta seperti
tidak menaruh perhatian terhadap lingkungan sekitar, tidak mau atau sangat
sedikit berbicara, hanya mau mengatakan ya atau tidak, atau ucapan-ucapan lain
yang tidak jelas, tidak suka dengan stimuli pendengaran ( mendengarkan suara
orang tua pun menangis ), senang melakukan stimulasi diri, memukul-mukul kepala
atau gerakan-gerakan aneh lain, kadang-kadang terampil memanipulasikan obyek,
namun sulit menangkap.
·
Autisme adalah gangguan yang parah pada
kemampuan komunikasi yang berkepanjangan yang tampak pada usia tiga tahun
pertama, ketidakmampuan berkomunikasi ini diduga mengakibatkan anak penyandang
autis menyendiri dan tidak ada respon terhadap orang lain (Sarwindah, 2002).
·
Yuniar (2002) menambahkan bahwa Autisme adalah
gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku, dengan akibat
kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional dengan orang
lain, sehingga sulit untuk mempunyai ketrampilan dan pengetahuan yang
diperlukan sebagai anggota masyarakat. Autisme berlanjut sampai dewasa bila tak
dilakukan upaya penyembuhan dan gejala-gejalanya sudah terlihat sebelum usia
tiga tahun.
Dari keterangan diatas, maka
dapat kami menyimpulkan bahwa Autisme adalah kelainan perkembangan sistem saraf
pada seseorang yang dialami sejak lahir ataupun saat masa balita dengan gejala
menutup diri sendiri secara total, dan tidak mau berhubungan lagi dengan dunia
luar, merupakan gangguan perkembangan yang komplek, mempengaruhi perilaku,
dengan akibat kekurangan kemampuan komunikasi, hubungan sosial dan emosional
dengan orang lain dan tidak tergantung dari ras, suku, strata-ekonomi, strata
sosial, tingkat pendidikan, geografis tempat tinggal, maupun jenis makanan
B. Ciri-Ciri Anak Autis
·
Gangguan berbicara
Ciri dari anak autis yang pertama adalah
gangguan saat berbicara. Hingga saat ini, tercatat ada 40% anak-anak yang
menderita autis mengalami gangguan pada kemampuan berbicara atau hanya dapat
mengucapkan satu hingga dua kata saja. Akan tetapi pada saat usia 12 hingga 18
bulan sekitar 30% kemampuan tersebut akan hilang. Saat berbicara, intonasi
seorang anak autis pun terlihat datar dan terkesan formal. Tak hanya itu saja,
mereka juga sangat senang untuk mengulang kata beberapa kali. Kondisi ini lebih
dikenal sebagai echolalia1. Baca juga
cara mengatasi anak terlambat berbicara
·
Gangguan pada kemampuan sosial
Seseorang yang mengalami autis pada tingkat
ringan, biasanya ciri yang sering muncul adalah ia merasa seperti orang asing
saat berkumpul bersama dan canggung atau enggan berbicara terhadap orang lain.
Akan tetapi jika seseorang sudah mengalami autis pada tingkat hiperaktif
biasanya ia tidak akan mau berinteraksi dengan orang lain, menghindari kontak
mata dan sangat sulit berbagai mainan, meskipun mainan tersebut hanya dapat
dilakukan jika bersama-sama.
·
Perkembangan dan pertumbuhan tidak seimbang
Ciri-ciri dari anak autis selanjutnya adalah
pertumbuhan tidak seimbang. Pertumbuhan dan perkembangan seseorang biasanya
bersifat selaras dan juga seimbang. Akan tetapi berbeda dengan anak yang
menderita autis. Anak autis cenderung memiliki kemampuan yang tidak seimbang.
Sebagai contoh adalah anak autis akan mengalami perkembangan yang sangat pesat
dalam kognifit, akan tetapi mereka pun akan mengalami perkembangan yang sangat
lambat terhadap kemampuan berbicara.
·
Kesulitan dalam berempati
Selain itu, anak yang menderita autis juga
sangat sulit untuk berempati atau sulit untuk memahami perasaan orang lain.
Anak autis lebih sering membicarakan diri sendiri. Untungnya hal ini dapat
dilatih dengan cara mengingatkan mereka selalu peduli terhadap sesama dan
selalu belajar untuk mementingkan perasaan orang lain.
·
Tidak suka kontak fisik
Ciri-ciri anak autis selanjutnya adalah anak
autis tidak suk kontak fisik, seperti sentuhan ataupun pelukan. Akan tetapi
tidak semua anak autis menunjukkan gejala yang sama. Sebagian besar anak autis
lebih senang melakukan kontak fisik dengan seseorang yang dekat dengannya.
·
Menyukai tindakan berulang
Anak autis juga sangat menyukai hal-hal yang
sudah pasti, sehingga mereka sering dan senang melakukan rutinitas yang sama
dalam setiap harinya. Perubahan aktivitas bagi anak autis sangatlah mengganggu
dan terasa berat.
·
Tidak suka aroma, cahaya terang dan suara keras
Mereka juga tidak menyukai perubahan mendadak,
karena hal tersebut sangat mengganggunya. Suara keras yang mengagetkan,
perubahan kondisi cahaya dan perubahan suhu mendadak mereka juga tak
menyukainya.
C.
Karakteristik
Anak Autis
1. Gangguan
kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada 2 gejala
dari gejala di bawah:
·
tak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup
memadai: kontak mata sangat kurang, ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik
yang kurang terarah,
·
tak bisa bermain dengan teman sebaya,
·
tak dapat merasakan apa yang dirasakan orang
lain,
·
kurangnya hubungan emosional dan sosial yang
timbal balik.
2. Gangguan
kualitatif dalam bidang komunikasi seperti ditunjukkan oleh minimal satu dari
gejala-gejala berikut:
·
bicara terlambat atau bahkan sama sekali tak
berkembang (tak ada usaha untuk mengimbangi komunikasi dengan cara lain tanpa
bicara),
·
Bila bisa bicara, bicaranya tidak dipakai untuk
komunikasi,
·
Sering menggunakan bahasa yang aneh dan
diulang-ulang,
·
Cara bermain kurang variatif, kurang
imajinatif, dan kurang bisa meniru.
3. Suatu
pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan.
Sedikitnya harus ada satu dari gejala berikut ini:
·
Mempertahankan satu minat atau lebih, dengan
cara yang khas dan berlebih-lebihan.
·
Terpaku
pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya.
·
Ada gerakan-garakan yang aneh, khas, dan
diulang-ulang.
·
Seringkali terpukau pada bagian-bagian benda
tertentu.
D. Penyebab Anak Autis
·
Faktor genetis atau keturunan.
Gen menjadi faktor kuat yang menyebabkan anak
autis. Jika dalam satu keluarga memiliki
riwayat menderita autis, maka keturunan selanjutnya memiliki peluang besar
untuk menderita autis. Hal ini
disebabkan karena terjadi gangguan gen yang memengaruhi perkembangan,
pertumbuhan dan pembentukan sel-sel otak.
Kondisi genetis pemicu autis ini bisa disebabkan karena usia ibu saat
mengandung sudah tua atau usia ayah yang sudah tua. Diketahui bahwa sperma
laki-laki berusia tua cenderung mudah bermutasi dan memicu timbulnya
autisme. Selain itu, ibu yang mengidap
diabetes juga ditengarai sebagai pemicu autisme pada bayi.
·
Faktor kandungan (pranatal).
Kondisi kandungan juga dapat menyebabkan gejala
autisme. Pemicu autisme dalam kandungan
dapat disebabkan oleh virus yang menyerang pada trimester pertama, yaitu virus
syndroma rubella. Selain itu, kesehatan lingkungan
juga memengaruhi kesehatan otak janin dalam kandungan. Polusi udara berdampak negatif pada
perkembangan otak dan fisik janin sehingga meningkatkan kemungkinan bayi lahir
dengan risiko autis. Bahkan, kondisi
kandungan ibu yang bermasalah (komplikasi kehamilan) hingga mengalami
perdarahan juga menjadi pemicu munculnya gejala autisme. Kondisi ini menyebabkan gangguan transportasi
oksigen dan nutrisi ke bayi yang mengakibatkan gangguan otak janin. Bahkan, bayi lahir prematur dan berat bayi
kurang juga merupakan risiko terjadinya autisme.
·
Faktor kelahiran.
Bayi lahir dengan berat rendah, prematur, dan
lama dalam kandungan (lebih dari 9 bulan) berisiko mengidap autisme. Selain itu, bayi yang mengalami gagal napas
(hipoksa) saat lahir juga berisiko mengalami autis.
·
Faktor lingkungan.
Bayi yang lahir sehat belum tentu tidak
mengalami autisme. Faktor lingkungan
(eksternal) juga bisa menyebabkan bayi menderita autisme, seperti lingkungan
yang penuh tekanan dan tidak bersih.
Lingkungan yang tidak bersih dapat menyebabkan bayi alergi melalui
ibu. Karena itu, hindari paparan sumber
alergi berupa asap rokok, debu atau makanan yang menyebabkan alergi.
·
Faktor obat-obatan.
Obat-obatan untuk mengatasi rasa mual, muntah,
ataupun penenang yang dikonsumsi ibu hamil berisiko menyebabkan anak
autis. Karena itu, Anda harus
berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter sebelum mengonsumsi obat-obatan
jenis apa pun saat hamil. Selain itu,
paparan obat-obatan opium (penghilang rasa nyeri) dapat mengganggu perkembangan
saraf sehingga otak pun tidak berkembang dengan baik. Bahkan, paparan merkuri juga memicu timbulnya
autisme pada bayi. Merkuri bisa berasal
dari: saat Anda mengonsumsi ikan yang terkontaminasi merkuri, penggunaan
kosmetik yang mengandung merkuri, bahan-bahan perawatan tubuh bayi yang
berkomposisi merkuri, dan sebagainya.
·
Faktor makanan.
Zat kimia yang terkandung dalam makanan sangat
berbahaya untuk kandungan. Salah
satunya, pestisida yang terpapar pada sayuran,
Diketahui bahwa pestisida mengganggu fungsi gen pada saraf pusat,
menyebabkan anak autis.
E. Penangan untuk Anak Autis
1. Terapi
Perilaku dan Kemampuan Berkomunikasi
Tujuan dari terapi perilaku dan kemampuan
berkomunikasi adalah untuk membangun struktur dan memberikan pengarahan kepada
anak autis dengan melibatkan pihak keluarganya. Beberapa contoh terapi perilaku
dan kemampuan berkomunikasi adalah1,2:
·
Applied Behavior Analysis
Jenis terapi ini banyak digunakan oleh para
ahli, sekolah-sekolah, dan klinik terapi autisme. Terapi ini bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan penderita autisme pada anak dengan cara mendorong
perilaku positif dan melarang perilaku negatif. Terapi ini melibatkan pemberian
penghargaan untuk perilaku positif, pelatihan kemampuan berbicara, dan
peningkatan motivasi anak untuk belajar dan memulai komunikasi dengan orang
lain.
·
Developmental, Individual Differences,
Relationship-Based Approach (DIR)
Terapi ini dikenal juga sebagai floortime serta
terfokus pada perkembangan emosi dan sosial penderita autisme. Selain itu, terapi
ini juga bertujuan untuk melatih reaksi anak terhadap cahaya, suara, dan aroma.
·
Treatment and Education of Autistic and related
Communication-handicapped Children
Terapi ini menggunakan gambar visual sebagai
media untuk belajar, sebagai contoh: kartu bergambar digunakan untuk
menunjukkan cara berpakaian secara bertahap.
·
Occupational Therapy
Terapi ini bertujuan untuk mengajarkan
keahlian-keahlian yang diperlukan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari,
misalnya: Cara berpakaian, makan, mandi, dan berinteraksi dengan orang lain.
·
Sensory Integration Therapy
Terapi ini bermanfaat untuk memperkenalkan dan
mengajarkan reaksi yang tepat atas informasi sensori seperti cahaya, suara, dan
aroma.
·
Speech Therapy
Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi, baik komunikasi verbal secara langsung atau dengan
menggunakan bantuan media lain seperti tulisan dan gambar.
·
The Picture Exchange Communication System
(PECS)
Terapi ini mengajarkan penggunaan simbol
(biasanya berupa gambar) untuk berkomunikasi.
2. Terapi
Obat
Penggunaan obat bukan bertujuan untuk
menyembuhkan autisme ataupun memperbaiki kondisi dan gejala autisme secara
langsung. Penggunaan obat untuk pengobatan autisme lebih bermanfaat untuk
mengatasi beberapa gejala-gejala sampingan yang biasa dialami oleh anak dengan
autisme2.
·
Obat untuk mengatasi perilaku hiperaktif,
ketidakmampuan untuk terfokus, depresi, dan kejang
·
Obat untuk mengatasi perilaku agresif,
emosional, dan tindakan melukai diri
3. Terapi
Pengobatan Alternatif
Banyak orangtua yang melakukan terapi pengobatan alternatif untuk
menyembuhkan autisme. Walaupun, terapi pengobatan autisme alternatif bukan
merupakan terapi yang disarankan oleh dokter atau ahli medis. Terapi ini
sifatnya kontroversial, bahkan mungkin berbahaya. Sayangnya, data menunjukkan
bahwa sepertiga orang tua yang memiliki anak dengan autisme telah mencoba
berbagai pengobatan alternatif ini dan 10% dapat berbahaya. Untuk itu,
disarankan untuk terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter sebelum mencoba
terapi pengobatan alternatif2.
Comments
Post a Comment